Oleh Dr. R. L. Hymers, Jr.
Diterjemahkan oleh Dr. Eddy Purwanto
Diterjemahkan oleh Dr. Eddy Purwanto
“Sedangkan anak-anak Kerajaan itu akan
dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan
terdapat ratap dan kertak gigi” (Matius 8:12).
Tema tentang Neraka jarang sekali dikhotbahkan
dari mimbar-mimbar kita hari ini. Bahkan dimana itu dipercaya, bahwa itu
jarang menjadi subyek dari keseluruhan khotbah. Minggu malam yang lalu
saya menyampaikan sebuah khotbah yang berjudul “Khotbah pada Zaman
Penyesatan!” Di sana hanya ada dua penekanan singkat tentang Neraka
dalam khotbah itu. Namun seorang pengunjung gereja kita berkata kepada
saya setelah kebaktian bahwa itu adalah “Khotbah tentang api dan
penghukuman Neraka.” Saya kira yang ia maksudkan adalah bahwa itu
adalah khotbah yang serius, karena di sana hanya ada sedikit
penekanan tentang Neraka. Saya takut bahwa di zaman kita ini banyak
khotbah yang menyatakan bahwa Anda terhilang tanpa Kristus akan disebut
sebagai khotbah tentang “Api dan penghukuman Neraka.”
Jadi jarang sekali tema tentang Neraka dikhotbah
di mimbar-mimbar pada zaman kita ini yang memberikan peringatan tentang
penghukuman kekal dalam khotbah yang segera disebut dengan “khotbah
tentang api dan belerang Neraka.” Ini membuat mudah bagi orang berdosa
yang belum bertobat untuk mengurangi atau men-discount pentingnya subyek yang sangat mengerikan itu. Namun Neraka tidak harus di-discount,
diremehkan atau diabaikan. Ini harus secara terus menerus menjadi tema
penginjilan yang sejati. Jika kita mengikuti contoh dari para
pengkhotbah evangelical di masa lalu, dan jika kita mentaati Kitab Suci
itu sendiri, tema tentang Neraka harus disampaikan dengan urgensi dan
kuat dalam khotbah kita. Iain H. Murray menekankan itu dalam pengantar
bukunya yang berjudul The Old Evangelicalism: Old Truths for a New Awakening
(The Banner of Truth Trust, 2005) bahwa William Booth, pendiri dari
Bala Keselamatan, ketika ditanya oleh pewawancara pada tahun 1901
tentang apa bahaya utama yang akan terjadi pada abad 20 ini. Ia menjawab
bahwa salah satunya itu adalah khotbah tentang “Sorga tanpa Neraka”
(Murray, ibid., hal. xi).
Nampak bagi saya bahwa “prediksi” dari Booth
benar-benar telah tergenapi. Banyak hamba Tuhan yang melayani berbagai
pelayanan penguburan bagi orang-orang yang tidak pernah pergi ke gereja,
atas permintaan keluarga yang ingin agar orang-orang yang terkasih yang
telah meninggal itu, walaupun ia dalam hidupnya jarang masuk gereja,
diberikan pelayanan penguburan sepenuhnya secara Kristen, dengan pendeta
membuat pernyataan tentang “kebaikan-kebaikan” dari hidup mereka, dan
mengatakan bahwa orang yang mati tanpa Kristus ini tanpa diragukan lagi
sedang berjalan menuju Sorga, dari pada menjelaskan kebenaran: bahwa
tidak perlu diragukan lagi bahwa mereka ada “dalam kegelapan yang paling
gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (Matius 8:12).
Namun jika pengkhotbah itu menguraikan kata-kata Kristus ini secara
rinci, ia akan segera mendapati bahwa tak seorangpun mau mendengarkan
dia. Di sana Anda memiliki satu contoh tentang bagaimana “prediksi” dari
Booth ini telah digenapi di mimbar-mimbar modern. “Sorga tanpa Neraka”
hampir menjadi tema khotbah modern secara universal.
Bagaimana dengan persekutuan-persekutuan dan
kebaktian-kebaktian kaum muda, dan kebaktian penginjilan? Lagi,
“prediksi” Booth benar. “Sorga tanpa Neraka” hampir selalu menjadi tema
dari pertemuan-pertemuan atau kebaktian kaum muda hari ini.
Dan dalam khotbah-khotbah di gereja-gereja hari
ini tema tentang Neraka biasanya juga dihindari. “Sorga tanpa Neraka”
hampir selalu menjadi tema sentral khotbah penginjilan “modern.”
Kembali ke tahun 1911 Dr. R. A. Torrey berkata bahwa tidak ada doktrin Alkitab
“…yang secara luas lebih banyak dipertanyakan
pada zaman ini dari pada yang berhubungan dengan tujuan akhir di masa
depan dari orang-orang yang menolak Yesus Kristus dalam hidup yang
dihidupinya sekarang ini. Bahkan dalam [gereja-gereja konservatif] ada
pengingkaran yang terus meluas, atau paling tidak peraguan, tentang
penderitaan yang terus menerus, tiada akhir, bagi orang yang belum
bertobat. Di mana kalau toh tidak ada pengingkaran atau peraguan
berhubungan dengan doktrin ini, paling tidak ada kesunyian berhubungan
dengan doktrin ini” (R. A. Torrey, D.D., The Higher Criticism and the New Theology, Gospel Publishing House, 1911, hal. 258).
Saya berpikir ada sejumlah alasan untuk fakta
bahwa ada begitu sedikit khotbah tentang Neraka, bahkan di gereja-gereja
konservatif. Salah satu alasannya adalah bahwa para pengkhotbah telah
melupakan bahwa khotbah penginjilan harus mulai dengan Hukum Taurat.
Doktrin tentang Neraka adalah Hukum Taurat. Dan banyak pengkhotbah tidak
menyadari bahwa khotbah tentang Hukum Taurat harus disampaikan terlebih
dahulu agar orang berdosa itu menyadari kebutuhannya akan Kristus.
Dalam bukunya yang sangat mengagumkan, The Old Evangelicalism: Old Truths for a New Awakening
(The Banner of Truth Trust, 2005) Iain H. Murray menuliskan salah satu
pasal dengan judul “Preaching and Awakening: Facing the Main Problem in
Evangelism” [“Khotbah dan Kebangunan Rohani: Masalah Utama dalam
Penginjilan”]. Dalam bab itu, Murray mengutip Mary Winslow, yang
berkata,
Bagaimana ini terjadi bahwa pemberitaan injil
telah menjadi begitu sedikit berefek dalam karya pertobatan? Saya tidak
dapat tidak untuk membuat kesimpulan ini yaitu bahwa tidak akan pernah
ada lagi kebangunan rohani di negeri ini [USA] sampai hukum Taurat
dikhotbahkan kembali dengan sekuat tenaga untuk menyadarkan orang
berdosa yang belum bertobat, menginsafkannya akan dosa, menunjukkan
kepalsuan dari tempat perlindungannya, membentangkan kepadanya
keadaannya [yang secara alami] telah rusak, dan menyingkapkan
konsekwensi yang luar biasa dari hidup dan mati dalam keadaan yang tidak
dibaharui (Murray, ibid., hal. 2).
Dalam bab itu Murray menekankan bahwa pada zaman
kebangunan rohani sejati orang-orang dibuat sadar akan dosa mereka,
murka Allah dan realitas akan Neraka. Murray berkata,
Sebelum Kebangunan Rohani abad delapan belas,
sebagaimana Samuel Blair, seorang pendeta dari periode itu menulis:
‘Telah dipikirkan bahwa jika ada kebutuhan hati yang tertekan melihat
bahaya jiwa, dan takut akan murka Allah, itulah satu-satunya yang
dibutuhkan bagi orang-orang berdosa.’ Blair meneruskan perkataannya,
berhubungan dengan kesadaran akan dosa yang datang menjadi seperti
depresi mental dan seperti sesuatu yang ingin dihindari. ‘Banyak orang
pada umumnya… tidak mempedulikan hati dan kebodohan untuk tidak
memperhatikan hal yang besar berhubungan dengan kekekalan.’ Di New
England, Jonathan Edwards berbicara dengan cara yang sama tentang
orang-orang yang memandang neraka sebagai ‘sesuatu yang tiada lain
selain sekedar sebuah fiksi untuk menakut-nakuti jemaat.’
Kondisi umum ini kemudian diubah dengan Kebangunan Rohani Injili. Ketika Isaac Watts dan John Guyse menulis Kata Pengantar untuk edisi pertama dari buku Jonathan Edwards yang berjudul Narrative of Surprising Conversions pada tahun 1737, mereka memperhatikan suatu transformasi… dan mengamati, “Di manapun Allah bekerja dengan kuasa untuk keselamatan atas setiap pikiran manusia, akan ada penemuan tentang perasaan sadar akan dosa, tentang bahaya murka Allah.’
Dalam setiap kebangunan rohani semuanya sama seperti itu (Murray, ibid., hal. 3-4).
Kondisi umum ini kemudian diubah dengan Kebangunan Rohani Injili. Ketika Isaac Watts dan John Guyse menulis Kata Pengantar untuk edisi pertama dari buku Jonathan Edwards yang berjudul Narrative of Surprising Conversions pada tahun 1737, mereka memperhatikan suatu transformasi… dan mengamati, “Di manapun Allah bekerja dengan kuasa untuk keselamatan atas setiap pikiran manusia, akan ada penemuan tentang perasaan sadar akan dosa, tentang bahaya murka Allah.’
Dalam setiap kebangunan rohani semuanya sama seperti itu (Murray, ibid., hal. 3-4).
Kebangunan-Kebangunan Rohani seperti itu sekarang
sudah jarang. Namun saya adalah saksi mata untuk satu yang terjadi pada
tahun 1960-an yang lalu. Seorang gembala dengan kuat dan terus menerus
berkhotbah tentang dosa dan Neraka. Saya sendiri, sebagai seorang hamba
Tuhan yang masih muda, sering diminta untuk berkhotbah kepada anak-anak
muda, dan khotbah-khotbah saya sendiri berfokus kepada penghakiman dan
murka. Pada suatu acara sekolah Alkitab liburan dan acara camp gereja,
dan pada berbagai kesempatan lainnya, kata-kata dari Mazmur 139:23-24
ditetapkan sebagai musik. Ayat-ayat ini dinyanyikan berulang-kali,
sebagai tema lagu dari masa kebangunan rohani pada waktu itu.
“Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku,
ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku
serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mazmur 139:23-24).
Kebangunan rohani itu berlangsung selama beberapa
bulan. Ratusan anak muda membanjiri gereja, dan banyak yang
dipertobatkan. Seluruh suasana hati dari kebangunan itu berlangsung
dengan sangat serius. Ada keinsafan akan dosa yang sangat
mendalam, banyak yang menangis, dan doa-doa syafaat terutama ditujukan
untuk orang-orang terhilang. Saya tidak akan pernah melupakan kesempatan
yang spesial itu selama hidup saya. Seperti yang telah saya katakan,
masa kebangunan rohani itu berlangsung atau bertahan selama
berbulan-bulan.
Anda tidak dapat “menciptakan” peristiwa seperti
itu. Itu tidak dapat dihasilkan oleh apapun yang dilakukan oleh manusia.
Namun saya tahu dengan pengamatan pribadi saya, dan dengan
bertahun-tahun membaca tentang subyek itu, bahwa kebangunan rohani
seperti itu selalu datang bersama dengan khotbah yang sangat serius
tentang hukum Taurat – khotbah tentang dosa, Penghakiman Terakhir bagi
orang-orang yang mati tanpa keselamatan, murka Allah, dan penghukuman
kekal di Neraka – dan datang bersama dengan doa-doa yang serius bagi
pertobatan orang-orang terhilang. Seperti yang dikatakan oleh Iain H.
Murray, “Dalam setiap kebangunan rohani semuanya sama seperti itu”
(ibid., hal. 4). Saya telah menjadi saksi mata untuk pemandangan
seperti ini, yang Murray kutip berhubungan dengan kebangunan rohani yang
mulai di Pyongyang, Korea pada tahun 1907,
Setiap orang melupakan semua. Setiap orang
bertemu muka dengan muka dengan Allah. Saya dapat mendengar suara yang
sangat menakutkan dari ratusan orang yang memohon kepada Allah untuk
memperoleh hidup dan rahmat. Jeritan tangis menggema di seluruh kota
itu sampai para penyembah berhala yang ada berada dalam kegemparan….
Memandang sorga, memandang Yesus yang telah mereka khianati, mereka
memukuli diri mereka sendiri dan menangis dengan ratapan penuh
kesedihan: ‘Tuhan, Tuhan, jangan lemparkan kami untuk selama-lamanya!’
Segala sesuatu yang lain telah mereka lupakan, tidak ada lagi yang
berarti bagi mereka (Murray, ibid., hal. 4-5).
Saya telah berbicara banyak kali dengan seorang
pendeta Korea yang kakeknya adalah salah satu orang yang bertobat dari
kehidupan yang sangat penuh dengan dosa pada masa kebangunan rohani di
Pyongyang. Pendeta ini menceritakan kepada saya tentang apa yang
kakeknya pernah ceritakan kepadanya tentang kebangunan rohani yang agung
itu.
Saya juga pernah melihat suatu peristiwa yang
terjadi di gereja Caucasian (kulit putih) dan di gereja Cina. Saya telah
melihat peristiwa itu dengan mata kepala sendiri, saya tahu bahwa Allah
dapat melakukan hal-hal seperti itu kembali. Namun demikian, kita harus
dengan seksama, memahami bahwa kebangunan rohani yang seperti ini belum
pernah terjadi di dunia berbahasa Inggris dalam tingkat yang luas sejak
tahun 1949, di Pulau Lewis, daerah Skotlandia.
Selama hampir 60 tahun tidak pernah ada lagi
kebangunan rohani seperti itu di dunia Barat, kecuali di beberapa gereja
lokal (sungguh sangat sedikit!). Dan hal ini terjadi oleh karena
“decisionisme,” ide palsu bahwa orang-orang dapat “diselamatkan”
seketika dengan membuat suatu “keputusan” atau dengan cara yang lain.
Mereka berkata “doa pengakuan dosa” atau “mengangkat tangan” pada suatu
kebaktian dan kemudian diumumkan telah “diselamatkan.” Tidak ada
ketakutan akan Allah. Tidak ada keinsafan akan dosa. Tidak ada rasa
jijik di dalam dirinya berhubungan dengan keadaanya yang telah rusak
total. Jadi, “kesaksian-kesaksian” modern jarang dipusatkan pada
Penebusan oleh Darah Kristus Yesus. Juga, para pengkhotbah nampaknya
takut untuk berbicara tentang Penghakiman Terakhir, murka Allah, dan
Lautan Api, di mana itu adalah tempat bagi setiap orang yang tidak
bertobat.
“…ia akan disiksa dengan api dan belerang di
depan mata malaikat-malaikat kudus dan di depan mata Anak Domba. Maka
asap api yang menyiksa mereka itu naik ke atas sampai selama-lamanya,
dan siang malam mereka tidak henti-hentinya disiksa…” (Wahyu 14:10-11).
Pertobatan yang benar dari seseorang mengikuti
pola yang sama seperti yang terjadi pada banyak orang ketika kebangunan
rohani datang. Pertobatan-pertobatan secara pribadi mengikuti bentuk
yang sama yang kemudian dialami oleh banyak orang.
Jika Anda berharap dipertobatkan dengan
sungguh-sungguh, Anda harus seperti orang-orang Korea pada tahun 1907,
melupakan semuanya dan berdiri muka dengan muka dengan Allah, hati Anda
ditembus oleh pikiran akan dosa Anda – dalam pemandangan Allah yang
suci. Anda harus merasa, seperti yang mereka lakukan, “Tuhan, Tuhan,
jangan lemparkan kami untuk selama-lamanya.” Tanpa keinsafan akan dosa
dalam hati Anda, Anda tidak akan pernah dipertobatkan.
“Sedangkan anak-anak Kerajaan itu akan
dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan
terdapat ratap dan kertak gigi” (Matius 8:12).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada Haleluya???